Baru kemarin saya merasakan ada sesuatu yang menendang-nendang di perut saya ketika menonton film. Pelakunya adalah sebuah film dokumenter karya Tino Saroengallo[1] berjudul “15 tahun lamanya”. Pemutarannya berlangsung pada 3 Juni 2013 lalu di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta. Cukup banyak yang hadir malam itu, baik dari kalangan seniman sendiri, maupun masyarakat umum seperti kami.
Memasuki ruangan pemutaran, saya merasakan hati saya sedikit meredup dengan foto Mantan Presiden Soeharto yang sedang tersenyum dan melambai ramah di tangan saya, tulisan #setelah15tahun di layar besar, dan mulut saya yang membuka-menutup menyanyikan lagu Indonesia Raya. Lampu-lampu dimatikan ketika itu. Gemuruh ganjil pun terdengar dari penjuru ruangan akibat choir dadakan yang dipimpin oleh Tino sendiri itu.
Tino tampaknya orang yang sangat momentual. Di tengah membanjirnya komentar-komentar yang mengkritisi pencapaian cita-cita reformasi di bulan Mei lalu, ia datang membawa #setelah15tahun ke hadapan kita. Sebuah film dokumenter mengenai apa yang orang-orang rasakan setelah 15 tahun berlalu dari 21 Mei tahun 1998. Yang dikenal sebagai hari‘kemenangan’ jutaan rakyat Indonesia. Hari lahirnya reformasi berkaki kecil (meminjam istilah Ayu Utami dalam ‘Cerita Cinta Enrico’).
Berbagai sudut pandang pun dikumpulkan, jurnalis, politisi, mahasiswa, aktivis, bahkan karyawan dan pedagang kecil. Semuanya menyuarakan satu hal, yaitu afirmasi bulat bahwa reformasi memang telah gagal di titik ini.
Diawali dengan beberapa cuplikan gambar dokumentasi teror nyata yang dilakukan oleh aparat militer di bulan Mei 1998 terhadap rakyat sipil, Tino menyuguhkan berbagai versi pelajaran yang dituai dari orang-orang yang menurut saya, tahu secara esensial, apa arti 21 Mei 1998. Sebagai orang yang tidak memilih menjadi ahistoris tetapi ujung-ujungnya ahistoris juga, saya merasakan sebuah penyegaran yang mendalam tentang tentang dua hal, yaitu tentang negara saya sendiri, dan peran film sebagai penggerak yang rasa-rasanya sangat saya rindukan. Maklum, meskipun saat ini sudah banyak muncul film-film nasional yang sangat berkualitas, rasanya tetap saja ada yang kurang kalau belum ada film yang menyentuh bagian paling dibekukan dari segenap memori negara yang ada, yang lebih dari ‘sekedar’ pencetus ruang-ruang emosi, seperti #selama15tahun ini. Dan saya pun berterima kasih kepada Tino sebagai bunda marianya.
Disaksikan oleh berbagai kalangan yang menggeluti isu-isu kenegaraan, atas nama seni dan kejujuran, serta di tengah kritik keras yang dilontarkan pada para ‘penikmat reformasi’, saya rasa Tino menanggung beban yang berat. Sebab terus terang, film yang membawa judul-judul besar seperti ini selalu membuat saya ketakutan, akan kekecewaan yang akan saya peroleh karena film-film seperti ini sangat jarang yang membidik dengan tepat fakta yang begitu banyak, begitu terinterkoneksi satu dengan yang lain, ke dalam suatu media audiovisual berdurasi terbatas.
Terutama di tengah era dimana ‘reformasi’ sudah menjelma seperti fenomena mega kasual ini.
Namun dengan format brainstorming yang dengan apiknya seperti menangkap masalah-masalah strategis yang kini dilupakan dalam kehidupan bernegara, #selama15tahun dapat saya katakan berhasil mendudukkan fakta dalam kata.
Sensasi #selama15tahun
Bagi saya, sejarah lebih dari sekedar kaca spion yang dilihat sekali-sekali. Sejarah lebih mirip seperti hantu yang abadi, tidak mati mati.
Siapapun tahu tragedi-tragedi berdarah di zaman Orde Baru, meskipun belum menjadi bagian dari buku sejarah siswa kelas 6 Sekolah Dasar. Namun rasanya, Tino menganggap kita ini benar-benar lupa sehingga di bagian awal film, disuguhkannya kembali rekaman-rekaman kejadian berdarah itu. Dan benar. Peluru dan darahnya masih yang itu.
Apa kata mereka tentang reformasi?
Nothing but truths they were saying. Tidak ada penilaian, tidak ada penghancuran karakter. Bahkan kata Tino, “yang menganggap demikian berarti busuk.” Tapi Tino tidak bermaksud untuk mencela negaranya sendiri, saya yakin.
Sejak awal saya sudah merasa saya akan mengagumi film ini, terutama ketika seorang penggiat film muncul di layar besar dan mengatakan bahwa kita sekarang sedang menghadapi fenomena not-known enemy.
Menurut berbagai sudut pandang yang disuguhkan oleh film, reformasi memang telah menghadiahi kita suatu hal yang sangat penting (namun menurut saya bukan yang utama), yaitu kebebasan. Melalui diresmikannya pengunduran diri Soeharto, setidaknya, secara formal, tidak ada lagi orang yang mengklaim dirinya sebagai orang paling berkuasa di negeri ini, tidak ada lagi aparat militer yang justru bersorak sorai setelah menghabisi sekelompok rakyat sipil seperti sudah menghabisi musuh negara (karena ABRI telah dipreteli, red), tidak ada lagi ketakutan untuk berbicara di depan umum, warga China dapat hidup berdampingan dengan pribumi, bahkan jalur berpolitik dibuka untuk siapa saja seluas-luasnya.
Tetapi lambat laun, ibarat angin segar yang menghembus menceriakan paru-paru, kenikmatan itu lewat begitu saja. Persis seperti pesta yang diakhiri pada suatu malam yang tak dinyana berpenghujung. Sorak sorai itu akhirnya akan meredup pada waktunya. Kebebasan berpolitik berujung pada berlimpahnya kepentingan-kepentingan yang ada di partai sehingga wakil rakyat dan rakyatnya pun semakin berjarak. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme kembali bermunculan, bahkan hampir semua politikus terlibat, bahkan dari kalangan muda yang seharusnya menjadi harapan terakhir reformasi.
Jadi siapa yang sebenarnya berpesta? Dan siapa sebenarnya musuh kita?
Sebuah paradigma yang sangat menarik yang disuguhkan oleh film ini adalah betapa sistem demokrasi telah disalahkaprahkan menjadi sebuah konsep liberalisme yang tidak didasari landasan ideologi yang kuat. Saya sendiri bukan seorang negarawan, atau sejarawan, juga tidak punya ideologi khusus, tetapi dari hati kecil saya, saya mengakui bahwa salah kaprah ini nyata, liberalisme itu nyata.
Senyata kepentingan siapa yang sekarang kita perjuangkan.
Saya jadi teringat suatu anekdot unik yang dimuat di film (dikatakan oleh seorang Politisi yang dulunya korban tragedi Gejayan Yogyakarta 1998): “kalau dulu kita kalah dengan M16, sekarang kita kalah dengan 16M (Rp16M)”. Anekdot ini sangat lucu, dan menggambarkan betapa rendahnya nilai (value) masyarakat kita sekarang, yang sudah bergeser dari ideology-oriented, menjadi money-oriented. All about quantities. Liberalisasi tampaknya telah membawa kadar individualisme yang eksesif bagi diri kita.
Film juga mengkritisi mengenai partai-partai yang kini tidak memiliki ideologi bawaan. Semuanya terlihat sama, sama-sama soul-less. Film bahkan mengatakan bahwa eksistensi partai-partai hanya pengejawantahan dari para penikmat reformasi yang bahkan tidak mau tahu apa sebetulnya yang dicita-citakan oleh para pejuang reformasi.
Lalu, apakah kita berubah?
Apabila kebanyakan orang berkata, setidaknya, kita berubah dari skala 0 ke skala 0,1 0,2 dan seterusnya, film ini menyatakan bahwa kita bahkan tidak pernah beranjak dari titik nol. Liberalisasi telah membawa kita pada miskinnya perjuangan atas nama kebersamaan, tereksposnya perbedaan,dan tidak adanya persatuan yang terbentuk setelahnya. Kita kehilangan komando. Komando yang seharusnya datang dan membuat kita bersatu padu memerangi Orde Baru dan kuasa-kuasa di bawahnya.
Tapi apa?
Semakin lama kita semakin terlena dalam angka-angka bias. Sebagai aparat Pemerintah, saya tahu bahwa liberalisasi membawa manfaat, dan itu memang benar adanya. Buktinya? Pertumbuhan kita tertinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan kawasan Asia dalam 5 tahun terakhir. Namun siapa yang sebenarnya menikmatinya? Siapa yang sebenar-benarnya sejahtera?
Kesejahteraan adalah poin penting dan yang terpenting, karena demokrasi hanya bisa berjalan apabila kesejahteraan terpenuhi. It’s a necessary condition. Dengan kesejahteraan yang cukup, masyarakat dianggap mampu berada di bawah naungan demokrasi yang mengharuskan adanya keterbukaan informasi. Tanpa kesejahteraan, berbicara tentang demokrasi ibarat menepukkan satu tangan ke udara. Tidak ada suara, tidak ada bunyi, hanya menyisakan kosong yang menyakitkan. The sound of inequality.
Kita juga diingatkan oleh film ini untuk tetap menjaga kedaulatan kita yang selama ini telah dicabik-cabik dengan masuknya asing secara agresif di sektor-sektor strategis, seperti pengelolaan sumber daya alam. I won’t tell the rest of the detail because it will really make me cry.
***
Seorang filmmaker dari Jogjakarta, bernama Yosep Anggi Noen dalam wawancaranya dengan majalah Cobra, mengatakan bahwa tantangan terbesar dari seorang filmmaker, adalah membuat penontonnya percaya terhadap apa yang ‘sedang berlangsung’ di depan matanya. Dan bagi saya, Tino cukup berhasil untuk ini.
The power of a true story.
Dan yang terpenting, film ini menyuguhkan sebuah harapan. Harapan dibalik angka lima belas yang sebetulnya masih sangat kecil for a huge change. Harapan bahwa sereguk angin yang sempat menyegarkan paru-paru kita yang pernah begitu sesak, masih akan dapat kita kembali nikmati.
Ingat sama Prabowo. Sama Wiranto. Mereka yang memerintahkan tembak di tempat di tahun 1998.
Ingat sama Golkar, Nasdem, Gerindra, dan Hanura. Mereka adalah wujud nyata pengaruh orde baru yang masih berkibar.
Ingat sama Bakrie. Untuk BLBI. Untuk Lapindo. Untuk Bank Nusa-nya yang seharusnya membuatnya hanya memakai kancut hari ini.
Dan yang terpenting. Ingat. Cita-cita reformasi.
***
Semuanya seperti berlalu begitu cepat, entah apa yang diramu Tino sehingga satu gedung bioskop seperti masih duduk dan menanti, meskipun credit title sudah muncul di layar. Saya merasakan sebuah kehangatan yang ganjil menyergapi setiap manusia di gedung bioskop yang diiringi tepuk tangan riuh.
Tepuk tangan yang saya pribadi dedikasikan untuk orang-orang yang bersuara dengan sebenar-benarnya, sejujur-jujurnya, thus makes it senyeni-nyeninya.
Thanks Tino, thanks all good people. Let us do the rest now.
[1] seorang aktor, produser film, sekaligus penulis