Uncategorized

Halo apa kabar?

Rasa-rasanya, tiga kata ini ingin sekali saya ucapkan ketika memandang beberapa rak kaset di Musik+, menyusul berbagai gambar-gambar nostaljik yang mendadak muncul berkelebatan di benak saya. Untuk menghitung sudah berapa tahun berlalu dari kaset pertama yang saya miliki saja saya memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengingat. Se-purbakala itu?

Kaset adalah salah satu dari banyak sekali media untuk menyuguhkan musik yang jenisnya mengalami perkembangan seiring dengan kebutuhan manusia yang tidak pernah statis. Menurut wikipedia, kaset yang saya maksud ini sejatinya digunakan pada tahun 1970 hingga tahun 1990-an. Popularitasnya menurun ketika tekologi bernama Compact Disc (CD) lahir dan otomatis juga menggantikan seluruh media pemutar yang disediakan untuk memutar kaset yang juga biasa disebut pita atau tape ini.

Seiring dengan terus berkembangnya teknologi, bukan hanya CD yang tergantikan dari segi fungsi, tetapi kebiasaan dalam mendengarkan musik juga ikut berubah. Budaya membeli atau mengoleksi musik-musik dalam bentuk fisik, misalnya, dengan kehadiran media digital ‘cloud computing’ dan jejaring sosial kini sudah jarang dipelihara sehingga tidak heran banyak distributor CD yang gulung tikar. Berkembang pesatnya penjualan lewat iTunes, dan sebagainya, atau banyaknya situs-situs yang ‘menyediakan’ fasilitas download gratis, membuat bentuk apresiasi ini semakin luntur. Di dashboard mobil-mobil yang dahulu selalu ada mixtape dalam bentuk CD yang pemilik mobilnya buat sendiri, sekarang tersisa satu buah benda kecil bernama flashdisc saja. Yang tidak kalah memprihatinkan, para distributor seolah kehilangan pasar dan mulai melacur ke restoran-retoran cepat saji atau retail stores berproduktivitas rendah untuk menjual album-album yang didistribusikan melalui mereka. Alhasil, semakin tidak ada wadah yang betul-betul bisa diandalkan untuk membeli musik yang baik.

Saya sendiri, untuk membeli CD dari luar misalnya, akan berpikir dua kali. Membeli CD menjadi suatu aktivitas langka yang hanya akan saya lakukan sekali-sekali di occasion tertentu, misalnya untuk album musisi yang dibesarkan oleh label musik non-major, alias yang masih merintis (indie label) dengan alasan “yang ini harus didukung, harus dibantu”.

Well, setiap hal pasti akan tergantikan, namun demikian, kami tetap beranggapan bahwa pada akhirnya setiap karya pasti akan bertemu dengan penikmatnya sendiri. Seperti kami yang bertemu dengan Konservatapes dan bekerja sama memproduksi 600 buah kaset dengan 3 jenis mixtapes sebagai souvenir pernikahan kami.

 

Cheers!

IMG_20130830_231315

Standard
Music

Happy Coda – aspirin untuk sakit kepalamu

Image

Saya rasa menginterpretasi musik itu cara terbaik untuk menelanjangi seseorang, lebih dari harafiah menelanjangi itu sendiri.

Kira-kira begitulah yang saya rasakan ketika pertama kali mendengarkan delapan lagu di album Happy Coda karya Frau (Leilani Hermiasih) ini, selain kegelisahan yang intens dan kegelagapan karena tertangkap rindu.

Tidak banyak yang saya tahu dari sosok Frau, selain album pertamanya, Starlit Carousel (2010), yang lebih dari cukup mencuri perhatian bagi pendengar musik amatir seperti saya. Terlepas dari pengertian musik klasik itu sendiri yang mungkin berbeda antara pendengar satu dengan pendengar lainnya, saya merasa album pertama ini cukup baik. Beberapa lagu di dalam list seperti Mesin Penenun Hujan dan Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa bahkan saya dengarkan berulang-ulang di kali pertama saya berkenalan dengan musik-musik frau. Kedua lagu ini, memancing pemaknaan yang sangat kaya terutama untuk Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa, lagu milik Melancholic Bitch dan dinyanyikan bersama Ugoran Prasad – vokalis dari Melancholic Bitch.

Lagu-lagu lainnya, terlepas dari perbendaharaan musik saya yang minim, masih belum mengeksplorasi kemampuan frau yang sebenar-benarnya. Tentunya hal ini saya simpulkan setelah mendengar album baru frau yang berjudul Happy Coda ini. Sebelumnya, saya hanya merasa musik ini kurang telanjang dan masih mengintip malu-malu di balik batas antara pembebasan pikiran sang pemusik dan penerimaan pendengar. Waktu itu bahkan saya berpikir, mungkin Frau sendiri belum mencapai klimaksnya, sebab it is too obvious bahwa ada gap antara titik optimal kemampuan frau dengan lagu-lagu di album ini. Frau masih butuh kontinuitas yang lebih sustain.

Dengan antusiasme yang besar, saya mendownload album kedua frau, Happy Coda tepat dua hari yang lalu. Tidak ada harapan yang saya kenakan di kuping saya ketika itu -terlepas dari karakter natural-born tidak hobi musik klasik saya, melainkan hanya berharap saya bisa menemukan kembali rindu yang hampir saya lupakan kepada musik-musik frau. Yang mana saya sadari pada akhirnya bahwa niat ini perlu diluruskan.

Lagu pertama yang saya dengarkan adalah Whispers. Sebuah lagu berdurasi dua menit yang menurut saya pas sekali dijadikan intro dengan formatnya yang ringan dan didominasi nada-nada tinggi. Berlanjut dengan Something More yang menurut saya mirip sekali dengan karya-karya Regina Spektor terutama dari sisi cara frau menyanyikannya -meskipun tidak begitu saja bisa dibandingkan.

Masuk ke Water, perasaan saya mulai mengikuti langkah kepala saya yang menunda kepulangan ke tubuh saya. Ini yang saya namakan dengan suara tuts-tuts piano yang bisa dinikmati tanpa berharap akan ada suara manusia yang mengiringinya, terutama di menit-menit ke dua. Liriknya pun semakin layak ditaksir dengan pemilihan kata yang lebih matang.

Empat Satu dan Tarian Sari lalu menyambar kuping saya segera setelahnya dengan lirik berbahasa Indonesia yang dinyanyikan dengan sangat tematik. Empat Satu memiliki irama yang lebih upbeat dan lirik yang ‘galak’, saya bahkan sempat kaget kalau akhirnya frau juga mendamba membuat lagu dengan tema ini setelah pianis lain, Luky Annash, yang mengambil tema-tema ‘pemberontakan’.

Sejauh ini Tarian Sari adalah track favorit saya. Disamping karena kepiawaian frau memainkan emosi lewat dinamika lagu, frau menunjukkan sesuatu yang baru di lagu ini, yaitu suatu perpaduan antara piano klasik, nuansa jawa, dan gestur lagu yang teatrikal. Mungkin ada yang menganggap ini sedikit berlebihan namun tatapan mata artifisial seorang penari yang selalu magis di mata saya, dan hal itu bertransformasi di dalam Tarian Sari ini. Ah biarlah saya berbalada.

Mr. Wolf, Arah, dan Suspens juga tidak kalah menarik dengan nada-nada tegasnya. Khusus untuk Mr. Wolf, saya suka sekali dengan konsep kebarat-baratannya sangat matang dan temponya sangat menawan dengan banyak nafas-nafas pendek serta menghentak. Seperti mendengarkan musik orkestra yang mengiringi pentas film bisu di era 20-an. Sedangkan Arah bagi saya sangat ear-friendly dengan tema yang cenderung ke pop, meskipun tidak seluruhnya (frau selalu membubuhkan alterego pada bagian interlude lagu-lagunya, ini keren!).

Seperti pengantar yang ditulis frau mengenai Happy Coda yang menurut saya sangat representatif dengan isi albumnya, yaitu ‘there is no happy ending, instead of happy coda”, yang berarti ekor-ekor yang tentunya berlanjut kepada momentum-momentum yang lain.

This journey of Happy Coda benar-benar membuat saya betah duduk diam dalam damai di tengah hari-hari yang kian menghimpit akhir-akhir ini. Mungkin frau tidak seperti White Shoes yang lagu-lagunya mengusir awan mendung di atas kepala, namun lebih dari cukup untuk menyusun ulang benang-benang kusut yang ada di dalamnya -dan semoga kepala-kepala kalian juga.

So, let’s thank for this beautiful Happy Coda. And let’s hope this is not yet the masterpiece of frau!

(download albumnya secara gratis di http://www.yesnowave.com)

Image

Standard
Music

The Osaka Journals

 

 

The Osaka Journals Vinyl

The Osaka Journals Vinyl

Jumat sore minggu lalu saya terburu-buru untuk pulang. Bukan takut terkena macet sepulang kerja. Tetapi untuk mengambil sebuah barang yang sudah saya tunggu sejak lama. Iya lama sekali. Sudah saya pesan sejak sebulan lalu. Dan akhirnya hari ini saya bisa melihat, memegang, dan merasakannya.

Sesampai di kantor Jakarta Post, saya mengabari seseorang sudah mempunyai janji dengan saya via sms. Setelah menunggu di ruang tamu, tidak lama kemudian muncul seseorang yang mirip wayne coyne muncul membawa sebuah bungkusan kotak yang saya tunggu. Berlapis plastik putih. Setelah berbincang sedikit dan terbata-bata karena terlalu gembira, dia meminta ijin untuk mengabadikan momen saya dengan bungkusan kotak tersebut. Pamit dan pulang lah saya.

Di rumah dengan tidak sabar saya buka bungkusan kotak tersebut. Begitu dibuka plastik pembungkusnya, terharu saya melihat covernya. Indah sekali. Dipegang dengan seksama. Dilihat detailnya. Didekatkan pandangannya, lalu dijauhkan, lalu didekatkan lagi. Sangat menikmati momen tersebut. Kemudian melihat isinya. Ada beberapa insert didalamnya. Kembali kagum dengan artworknya. Membaca setiap tulisan yang ada.

Terimakasih atas siapapun yang ikut mewujudkan perilisan ulang album ini. Bibir saya tidak bisa berhenti tersenyum karenanya.

 

Standard
Music

GLOVVESS #FictionalStranger

Glovvess, band baru bentukan dari Herald dan Wing untuk menyalurkan hasrat terpendam menjadi boyband. Tidak hanya mengandalkan suara, Wing mengatur nada yang berdentum pelan, mengalir lembut dengan diisi kocokan dan petikan gitar yang manis dari Herald membawa nuansa cinta yang dingin.

Terdengar seperti R&B pop 90’s yang marak saat mereka melewati masa kecil yang indah membuat melodi tersebut membekas di otak dan meresap di jiwa. Nuansa 90’s ini sengaja dihadirkan mengingat 60’s, 70’s, 80’s sudah diangkat temanya oleh band lain.

Ngehe memang.

Saat manggung hal ini didukung oleh outfit yang dikenakan dengan baju kedodoran dan kemeja flannel yang diikat dipinggang saat 90’s dengan grungenya masih berkuasa.

Cool.

Celoteh-celoteh ringan dan diselingi dengan membawakan lagu lama seperti Jingga dan BSB membuat kita tidak perlu ke tempat karaoke untuk ikut menyanyikannya. EP mereka Fictional Stranger dirilis secara gratis melalui bandcamp mereka setelah sebelumnya diberikan kode download kepada yang datang saat mereka tampil di monstore bar. Suka sekali dengan single kedua mereka “Lead the Way”. Meraung pelan, berdentum perlahan, dan berbisik di telinga. Buat para wanita persiapkan selalu tisu atau kenakan pembalut saat mendengarkan Fictional Stranger, band ini mungkin akan membuat anda becek.

Enjoi!!

at Monstore Bar

at Monstore Bar

Standard
Uncategorized

#setelah15tahun. 3 Juni 2013. Tino Saroengallo, sebagian masyarakat Indonesia, dan kami.

Setelah-15-Tahun_Undangan-Web_rev1

Baru kemarin saya merasakan ada sesuatu yang menendang-nendang di perut saya ketika menonton film. Pelakunya adalah sebuah film dokumenter karya Tino Saroengallo[1] berjudul “15 tahun lamanya”. Pemutarannya berlangsung pada 3 Juni 2013 lalu di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta. Cukup banyak yang hadir malam itu, baik dari kalangan seniman sendiri, maupun masyarakat umum seperti kami.

Memasuki ruangan pemutaran, saya merasakan hati saya sedikit meredup dengan foto Mantan Presiden Soeharto yang sedang tersenyum dan melambai ramah di tangan saya, tulisan #setelah15tahun di layar besar, dan mulut saya yang membuka-menutup menyanyikan lagu Indonesia Raya. Lampu-lampu dimatikan ketika itu. Gemuruh ganjil pun terdengar dari penjuru ruangan akibat choir dadakan yang dipimpin oleh Tino sendiri itu.

Tino tampaknya orang yang sangat momentual. Di tengah membanjirnya komentar-komentar yang mengkritisi pencapaian cita-cita reformasi di bulan Mei lalu, ia datang membawa #setelah15tahun ke hadapan kita. Sebuah film dokumenter mengenai apa yang orang-orang rasakan setelah 15 tahun berlalu dari 21 Mei tahun 1998. Yang dikenal sebagai hari‘kemenangan’ jutaan rakyat Indonesia. Hari lahirnya reformasi berkaki kecil (meminjam istilah Ayu Utami dalam ‘Cerita Cinta Enrico’).

Berbagai sudut pandang pun dikumpulkan, jurnalis, politisi, mahasiswa, aktivis, bahkan karyawan dan pedagang kecil. Semuanya menyuarakan satu hal, yaitu afirmasi bulat bahwa reformasi memang telah gagal di titik ini.

Diawali dengan beberapa cuplikan gambar dokumentasi teror nyata yang dilakukan oleh aparat militer di bulan Mei 1998 terhadap rakyat sipil, Tino menyuguhkan berbagai versi pelajaran yang dituai dari orang-orang yang menurut saya, tahu secara esensial, apa arti 21 Mei 1998. Sebagai orang yang tidak memilih menjadi ahistoris tetapi ujung-ujungnya ahistoris juga, saya merasakan sebuah penyegaran yang mendalam tentang tentang dua hal, yaitu tentang negara saya sendiri, dan peran film sebagai penggerak yang rasa-rasanya sangat saya rindukan. Maklum, meskipun saat ini sudah banyak muncul film-film nasional yang sangat berkualitas, rasanya tetap saja ada yang kurang kalau belum ada film yang menyentuh bagian paling dibekukan dari segenap memori negara yang ada, yang lebih dari ‘sekedar’ pencetus ruang-ruang emosi, seperti #selama15tahun ini. Dan saya pun berterima kasih kepada Tino sebagai bunda marianya.

Disaksikan oleh berbagai kalangan yang menggeluti isu-isu kenegaraan, atas nama seni dan kejujuran, serta di tengah kritik keras yang dilontarkan pada para ‘penikmat reformasi’, saya rasa Tino menanggung beban yang berat. Sebab terus terang, film yang membawa judul-judul besar seperti ini selalu membuat saya ketakutan, akan kekecewaan yang akan saya peroleh karena film-film seperti ini sangat jarang yang membidik dengan tepat fakta yang begitu banyak, begitu terinterkoneksi satu dengan yang lain, ke dalam suatu media audiovisual berdurasi terbatas.

Terutama di tengah era dimana ‘reformasi’ sudah menjelma seperti fenomena mega kasual ini.

Namun dengan format brainstorming yang dengan apiknya seperti menangkap masalah-masalah strategis yang kini dilupakan dalam kehidupan bernegara, #selama15tahun dapat saya katakan berhasil mendudukkan fakta dalam kata.

Sensasi #selama15tahun

Bagi saya, sejarah lebih dari sekedar kaca spion yang dilihat sekali-sekali. Sejarah lebih mirip seperti hantu yang abadi, tidak mati mati.

Siapapun tahu tragedi-tragedi berdarah di zaman Orde Baru, meskipun belum menjadi bagian dari buku sejarah siswa kelas 6 Sekolah Dasar. Namun rasanya, Tino menganggap kita ini benar-benar lupa sehingga di bagian awal film, disuguhkannya kembali rekaman-rekaman kejadian berdarah itu. Dan benar. Peluru dan darahnya masih yang itu.

Apa kata mereka tentang reformasi?

Nothing but truths they were saying. Tidak ada penilaian, tidak ada penghancuran karakter. Bahkan kata Tino, “yang menganggap demikian berarti busuk.” Tapi Tino tidak bermaksud untuk mencela negaranya sendiri, saya yakin.

Sejak awal saya sudah merasa saya akan mengagumi film ini, terutama ketika seorang penggiat film muncul di layar besar dan mengatakan bahwa kita sekarang sedang menghadapi fenomena not-known enemy.

Menurut berbagai sudut pandang yang disuguhkan oleh film, reformasi memang telah menghadiahi kita suatu hal yang sangat penting (namun menurut saya bukan yang utama), yaitu kebebasan. Melalui diresmikannya pengunduran diri Soeharto, setidaknya, secara formal, tidak ada lagi orang yang mengklaim dirinya sebagai orang paling berkuasa di negeri ini, tidak ada lagi aparat militer yang justru bersorak sorai setelah menghabisi sekelompok rakyat sipil seperti sudah menghabisi musuh negara (karena ABRI telah dipreteli, red), tidak ada lagi ketakutan untuk berbicara di depan umum, warga China dapat hidup berdampingan dengan pribumi, bahkan jalur berpolitik dibuka untuk siapa saja seluas-luasnya.

Tetapi lambat laun, ibarat angin segar yang menghembus menceriakan paru-paru, kenikmatan itu lewat begitu saja. Persis seperti pesta yang diakhiri pada suatu malam yang tak dinyana berpenghujung. Sorak sorai itu akhirnya akan meredup pada waktunya. Kebebasan berpolitik berujung pada berlimpahnya kepentingan-kepentingan yang ada di partai sehingga wakil rakyat dan rakyatnya pun semakin berjarak. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme kembali bermunculan, bahkan hampir semua politikus terlibat, bahkan dari kalangan muda yang seharusnya menjadi harapan terakhir reformasi.

Jadi siapa yang sebenarnya berpesta? Dan siapa sebenarnya musuh kita?

Sebuah paradigma yang sangat menarik yang disuguhkan oleh film ini adalah betapa sistem demokrasi telah disalahkaprahkan menjadi sebuah konsep liberalisme yang tidak didasari landasan ideologi yang kuat. Saya sendiri bukan seorang negarawan, atau sejarawan, juga tidak punya ideologi khusus, tetapi dari hati kecil saya, saya mengakui bahwa salah kaprah ini nyata, liberalisme itu nyata.

Senyata kepentingan siapa yang sekarang kita perjuangkan.

Saya jadi teringat suatu anekdot unik yang dimuat di film (dikatakan oleh seorang Politisi yang dulunya korban tragedi Gejayan Yogyakarta 1998): “kalau dulu kita kalah dengan M16, sekarang kita kalah dengan 16M (Rp16M)”. Anekdot ini sangat lucu, dan menggambarkan betapa rendahnya nilai (value) masyarakat kita sekarang, yang sudah bergeser dari ideology-oriented, menjadi money-oriented. All about quantities. Liberalisasi tampaknya telah membawa kadar individualisme yang eksesif bagi diri kita.

Film juga mengkritisi mengenai partai-partai yang kini tidak memiliki ideologi bawaan. Semuanya terlihat sama, sama-sama soul-less. Film bahkan mengatakan bahwa eksistensi partai-partai hanya pengejawantahan dari para penikmat reformasi yang bahkan tidak mau tahu apa sebetulnya yang dicita-citakan oleh para pejuang reformasi.

Lalu, apakah kita berubah?

Apabila kebanyakan orang berkata, setidaknya, kita berubah dari skala 0 ke skala 0,1 0,2 dan seterusnya, film ini menyatakan bahwa kita bahkan tidak pernah beranjak dari titik nol. Liberalisasi telah membawa kita pada miskinnya perjuangan atas nama kebersamaan, tereksposnya perbedaan,dan tidak adanya persatuan yang terbentuk setelahnya. Kita kehilangan komando. Komando yang seharusnya datang dan membuat kita bersatu padu memerangi Orde Baru dan kuasa-kuasa di bawahnya.

Tapi apa?

Semakin lama kita semakin terlena dalam angka-angka bias. Sebagai aparat Pemerintah, saya tahu bahwa liberalisasi membawa manfaat, dan itu memang benar adanya. Buktinya? Pertumbuhan kita tertinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan kawasan Asia dalam 5 tahun terakhir. Namun siapa yang sebenarnya menikmatinya? Siapa yang sebenar-benarnya sejahtera?

Kesejahteraan adalah poin penting dan yang terpenting, karena demokrasi hanya bisa berjalan apabila kesejahteraan terpenuhi. It’s a necessary condition. Dengan kesejahteraan yang cukup, masyarakat dianggap mampu berada di bawah naungan demokrasi yang mengharuskan adanya keterbukaan informasi. Tanpa kesejahteraan, berbicara tentang demokrasi ibarat menepukkan satu tangan ke udara. Tidak ada suara, tidak ada bunyi, hanya menyisakan kosong yang menyakitkan. The sound of inequality.

Kita juga diingatkan oleh film ini untuk tetap menjaga kedaulatan kita yang selama ini telah dicabik-cabik dengan masuknya asing secara agresif di sektor-sektor strategis, seperti pengelolaan sumber daya alam. I won’t tell the rest of the detail because it will really make me cry.

***

Seorang filmmaker dari Jogjakarta, bernama Yosep Anggi Noen dalam wawancaranya dengan majalah Cobra, mengatakan bahwa tantangan terbesar dari seorang filmmaker, adalah membuat penontonnya percaya terhadap apa yang ‘sedang berlangsung’ di depan matanya. Dan bagi saya, Tino cukup berhasil untuk ini.

The power of a true story.

Dan yang terpenting, film ini menyuguhkan sebuah harapan. Harapan dibalik angka lima belas yang sebetulnya masih sangat kecil for a huge change. Harapan bahwa sereguk angin yang sempat menyegarkan paru-paru kita yang pernah begitu sesak, masih akan dapat kita kembali nikmati.

Ingat sama Prabowo. Sama Wiranto. Mereka yang memerintahkan tembak di tempat di tahun 1998.

Ingat sama Golkar, Nasdem, Gerindra, dan Hanura. Mereka adalah wujud nyata pengaruh orde baru yang masih berkibar.

Ingat sama Bakrie. Untuk BLBI. Untuk Lapindo. Untuk Bank Nusa-nya yang seharusnya membuatnya hanya memakai kancut hari ini.

Dan yang terpenting. Ingat. Cita-cita reformasi.

***

Semuanya seperti berlalu begitu cepat, entah apa yang diramu Tino sehingga satu gedung bioskop seperti masih duduk dan menanti, meskipun credit title sudah muncul di layar. Saya merasakan sebuah kehangatan yang ganjil menyergapi setiap manusia di gedung bioskop yang diiringi tepuk tangan riuh.

Tepuk tangan yang saya pribadi dedikasikan untuk orang-orang yang bersuara dengan sebenar-benarnya, sejujur-jujurnya, thus makes it senyeni-nyeninya.

Thanks Tino, thanks all good people. Let us do the rest now.


[1] seorang aktor, produser film, sekaligus penulis

137658433024509_300x430

Standard